DIAM ADALAH KEBUN KEDUSTAAN

Senin, 10 Mei 2010

Kebijakan-kebijkanmu bagaikan gunung berapi
Kau letakkan di atas pundak kami
Yang sampai hari ini kau anggap kurcaci
Lemah tak berdaya dan mati

Tapi ingatanmu tanpa nada, sepi
Bahwa kami bisa bersatu dan menjadi raksasa
Yang akan mengangkat menghepaskannya
Tepat di ulu hatimu

Diskusi debat rapatmu bak kembaran kereta api
Berjalan lambat pada satu jalan rel ketidak adilan
Bising gaduh berisik
Memusingkan kepala memecahkan telinga melenyapkan hati

Pikiranmu tak berubah dalam topan anggapan
Bahwa kami krikil-krikil rel, diam membisu
Tapi ingatanmu hilang
Bahwa kami bisa bersatu dan menjadi gunungan batu besar
Yang bisa menghentikan lajumu

Kekuasaanmu printan istana megah di hutan rimba
Yang menebang habis isinya demi keindahan dan kelanggenganmu
Dari ujung kaki sampai ujung rambutmu tak tergoyahkan
Menganggap kami pohon perusak tak berdaya

Kelupaanmu abadi dalam tsunami
Bahwa akar-akar kami telah menyatu dengan tembok kekuasaanmu
Yang kelak akan membesar dan merobohkannya

Sodaraku …….Hari ini kita menonton para pemimpin kita
Beserta antek-anteknya sukses meng-eratkan
Keteguhan luar biasa

Tapi keteguhan dalam perjalanan ke arah yang sesat
Mereka mencoba merebut hati rakyat dengan cara demikian
Tapi terlupakan oleh mereka
Bahwa itulah jalan tercepat mempelancar jalan mereka menuju neraka dunia


Ooiii……… Dimanakah akhir detik ini
Kalau berkuasa ingin rasanya ku tarik kiamat untuk datang lebih awal
Agar mengakhiri semua penderitaan ini
Inilah kemustahilan yang nyata

Biarlah……….biarlah……
Biarlah ku kubiarkan semua amarahku
Bersemayam dalam genangan tuak
Tapi ku tak bisa membiarkan luka rakyat
Menginap dalam rumah puisiku

Ada apa aku ini
Si apa aku ini
Apakah aku pemakan tanah kuburan pertiwi yang belum mati
Apakah aku si dungu pengikut penya’ir-penya’ir gila
Apakah aku jupiter yang tak mampu menampung duka rakyat
Apakah umat muhammad atau apa

Ada apa aku ini
Sudah benarkah ocehan ku ini
Hatiku di pejali dengan harapan semoga aku salah
Tapi harapanku tak ubahnya angin dalam kwaci yang kosong


Malam semakin menjauh Tapi mataku membintang
Tertuju pada sebuah buku tebal
Bersampulkan burung gagah perkasa

Ku buka…ku baca…ku baca…
Sampai akhir halaman kami bertatapan
Hingga bumi mengecil…mengecil…hilang.

Rembulan dan sang surya berlomba lari
Menjauh dan mendekat pada merdunya alunan musik ayam jantan
Yang menggoda kuping hingga aku dan aku...

Terbangun dari tidur yang memang tak lelap
Seakan rombongan matahari menyengat
Membakar hatiku sampai mendidih sangat

Kembali apa yang ku baca sebelum ku matikan mataku teringat
Tentang indahnya undang-undang
Alangkah wahnya keputusan-keputusan
Sungguh mulianya peraturan-peraturan
Elok nian kebijakan-kebijakan

Otakku berputar-putar berlari-lari
Berkeliling-keliling berkejaran-kejaran
Tapi pikiranku diam menggunung

Ini semua untuk siapa???

Apakah untuk mereka yang bediri tegak di pinggiran jalan
Menadahkan tangan sambil berkesenian
Atau untuk para gadis tujuh puluh tahunan
Turun dari gunung, malam jam tigaan
Menukar kayu-kayu kering dengan makan
Atau untuk para buruh sang pembangun yang dirobohkan
Atau untuk para tani sang pemberi makan yang dilaparkan
Atau untuk jutaan anak tak berpendidikan
Atau untuk mereka yang selalu di telanjangi dalam bugil kemiskinan

Atau hanya untuk mereka semua ini
yang asik nongkrong Diatas megahnya kursi
di kelilingi seksinya para bidaduri-bidaduri
tiap detik mencuri nasi

hatiku meruih-ruih dengan satu kata
ini adalah kemungkaran

tapi yang punya Yad semakin mengeruh
yang punya Lisan hanya menyanyikan satu lagu
yang punya Qolb terus membatu

dan aku dan kita semoga cermin tak lagi pecah

4 komentar:

Afif Amrullah mengatakan...

"apa maksudnya? puisi jelek kok diposting??!!!"

dalam diam kubergumam, puisi bagus banget.

ngarti kagak maksud dw?!

puisi krisis mengatakan...

iya mas...kira2 gimana ya membuat saya lebih baik lagi ke depan nya?mohon masukan dan kritikannya...

Unknown mengatakan...

Keren.. Keren... Like it

lusiana mengatakan...

Tikus sekarang sohib kucing yang sama2 maling